Thursday, June 10, 2010

Sistem komunikasi Indonesia

Posted on 7:04 AM by Present to dhia

HUBUNGAN Antara SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA Terhadap SISTEM PERS yang BERLANDASKAN pada SISTEM PEMERINTAHAN

Menurut Tatang M Anirim, sistem adalah sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema dalam melakukan tatacara suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan. Di Indonesia dikenal beberapa bangunan sistem, misalnya Sistem Hukum Indonesia, Sistem Politik Indonesia, Sistem Sosial Indonesia, Sistem Budaya Indonesia, Sistem Ekonomi Indonesia dan sistem-sistem nilai lainnya yang dapat dijadikan pedoman dalam proses interaksi antar orang di Indonesia.
Selain itu, yang paling utama dalam berinteraksi diperlukan sistem komunikasi, Sistem Komunikasi adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang mempunyai pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan, mengeluarkan ide, gagasan, simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.
Dalam kehidupan komunikasi juga mulai dikenal dengan istilah Sistem Komunikasi Indonesia. Sistem ini merupakan rumusan baru bagi Indonesia meskipun pelaksanaannya secara implisit telah dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui norma Sistem Pers Indonesia. Namun rumusan yang jelas tentang Sistem Komunikasi Indonesia masih belum dimiliki.
Dengan merumuskan Sistem Komunikasi Indonesia maka kita akan memiliki sebuah bangunan sistem dalam berkomunikasi yang seragam serta menjadi ciri dan karakter Bangsa Indonesia. Bangunan dari sistem komunikasi Indonesia itu akan berlandaskan pada pola komunikasi yang dikembangkan di Indonesia dengan perangkat nilai dan perundangan yang ada. Sebab pola komunikasi didalam suatu negara akan menentukan bangunan sistem komunikasi yang akan dikembangkan di negara ini.
A. Pola Komunikasi.
1. Landasan Teoritis.
Pola komunikasi didalam suatu negara selalu dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup bangsanya sekaligus memberikan bentuk bagi falsafah komunikasi yang dianut dalam proses interaksi antar orang yang terjadi di negara itu. Falsafah komunikasi yang dianut, pada umummya sejalan dengan sistem politik yang berlaku.
Komunikasi mempunyai kemampuan menambah pengetahuan, merubah dan memperkuat opini, merubah sikap serta menimbulkan partisipasi secara individual maupun menambah sikap serta menimbulkan partisipasi secara individual maupun sosial. Keadaan ini mengharuskan adanya kesamaan pandangan antara supra dan infrastruktur politik dalam mengimplementasikan kegiatan komunikasi sesuai dengan filsafat bangsa itu sendiri.
2. Perkembangan komunikasi dalam Era Reformasi di Indonesia.
Melihat perkembangan politik di negara kita saat ini sebagai dampak dari adanya reformasi, telah muncul berbagai pemikiran mengenai negara dalam rangka mencari format yang pas bagi pelaksanaan sistem politik di Indonesia. Beberapa diantaranya ialah adanya gagasan untuk membentuk negara federal, menguatnya tuntutan otonomi, adanya gugatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya azas otonomi, terbentuknya partai-partai politik yang kian hari kian bertambah, semakin maraknya unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai lapisan dan golongan masyarakat.
Didalam dunia komunikasi juga terjadi perkembangan baru, antara lain dicabutnya Keputusan Menteri Penerangan tentang peraturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga pengurusannya menjadi lebih mudah, terbangunnya keberanian moral dalam menyampaikan aspirasi dan koreksi meskipun terkadang tidak sejalan dengan pemerintah, adanya toleransi yang tinggi dalam perbedaan pendapat, penggunaan media massa yang semakin berani dalam menyajikan fakta atau opini serta berbagai perkembangan lain yang pada akhirnya bermuara kepada suatu komitmen yakni bagaimana persatuan dan kesatuan tetap dapat dipelihara dalam dinamika yang sedang berkembang sekarang ini.
B. Pancasila dan Komunikasi
1. Pancasila Sebagai Acuan Normatif Bangsa Indonesia.
Sejak dikumandangkannya teks proklamasi oleh kedua tokoh proklamator Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 silam, dan disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 agustus 1945, Indonesia telah meletakkan pandangan hidup bangsanya kepada lima sila (Pancasila) sebagaimana dapat dilihat dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945.
Dalam rumusan alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 itu, telah memberikan penegasan tentang fungsi dan tujuan negara Indonesia, bentuk negara dan dasar falsafah negara Indonesia.
Pernyataan yang terkandung didalam alinea ke-empat UUD 1945 itu memberikan arti bahwa fungsi, tujuan dan bentuk negara Indonesia dilandaskan kepada makna fllosofis yang terkandung di dalam kalimat sesudah kata-kata "dengan berdasar kepada" tersebut, yaitu suatu rumusan yang akhirnya dikenal dengan PANCASILA.
Sila-sila dari lima sila (Pancasila) tersebut menjadi acuan normatif bagi Bangsa Indonesia dalam melaksanakan segala bentuk kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang pada dasarnya mengatur kehidupan manusia Indonesia secara horizontal yakni bagaimana berhubungan dengan sesama nilai yang terkandung didalam Pancasila itu. Nilai inilah yang menjadi dasar negara, jiwa, kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
Menjadi kepribadian bangsa memberikan arti bahwa Pancasila merupakan suatu ciri kepribadian Bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain, sekaligus memberikan watak tertentu bagi Bangsa Indonesia dalam kehidupan dan berinteraksi antar sesama. Sebagai pandangan hidup bangsa memberikan arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila telah diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkannya.
Pancasila diterima sebagai dasar negara, disamping sebagai pandangan hidup bangsa, berarti nilai-nilai Pancasila selalu harus menjadi landasan bagi pengaturan serta penyelenggaran negara. Hal ini memang telah diusahakan dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila kedalam peraturan perundangan yang berlaku. (P. Wahana, Filsafat Pancasila, 1996 Hal.65).
2. Pancasila Dalam Kehidupan Komunikasi
Jika dikaitkan dengan komunikasi, nilai yang terkandung dalam tiap-tiap sila dari Pancasila mempunyai implikasi khusus pada kegiatan komunikasi. Seperti sila pertama memberikan pengakuan secara khusus pada eksistensi bentuk komunikasi transendental, yaitu sebagai manifestasi dari pengakuan Bangsa Indonesia terhadap sesuatu yang gaib yang dipandang ikut menentukan keberhasilan Bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Dalam hal ini berkat doa dan kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sangat menentukan keberhasilan Bangsa Indonesia dalam berjuang memperebut kemerdekaan.
Sila kedua menuntut adanya komunikasi manusiawi dengan menerapkan etika komunikasi yang adil dan beradab, sila ketiga mengisyaratkan pelaksanaan norma-norma komunikasi organisasi, komunikasi politik termasuk komunikasi lintas budaya dan komunikasi tradisional yang bernuansa persatuan dan kesatuan, sila keempat memberikan tekanan pada pengakuan dilaksanakannya komunikasi dua arah dan timbal balik yang menghubungkan secara vertikal, horizontal maupun diagonal antara pemerintah dan masyarakat dan sebaliknya yang berorientasi pada kesamaan dan kesepakatan, baik keluar maupun kedalam dengan menggunakan model relational.
Akhirnya, sila kelima mengandung makna implikasi komunikasi sosial, komunikasi bisnis maupun komunikasi administrasi dan management dengan berorientasi pada asas keseimbangan dan keserasian bertujuan agar terjadinya perubahan sosial yang lebih baik secara material maupun spiritual.
Bila dilihat Pancasila dalam perspektif komunikasi tersebut, maka segala tingkah laku Bangsa Indonesia dalam kehidupan dan kegiatan komunikasi didalam berbagai bidang seperti bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya; haruslah dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
C. Sistem Pers dan Sistem Pemerintahan Indonesia
Pengertian Pers dalam arti sempit yaitu media massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya. Pers dalam arti luas bisa berupa media massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media yg menyiarkan karya jurnalistik.
Pers adalah lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya.
Sementara itu segala aktivitas pers tergantung pada falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana pers itu berada. Lyod Sommerlad menyatakan, sebagai institusi sosial, pers mempunyai fungsi dan sifat yang berbeda tergantung pada sistem politik, ekonomi dan struktur sosial dari negara dimana pers itu berada.
Ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti.
Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku "Four Theories of the Press" menjelaskan bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:
1. authoritarian press (pers otoriter)
2. libertarian press (pers liberal)
3. soviet communist press (pers komunis soviet)
4. social responsibility press (pers tanggung jawab sosial)
  1. Authoritarian Press (Pers otoriter)
Perkembangan otorisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana, bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa.
lstilah otoriter mengacu pada tingkat pengaturan pers yang sangat besar. Pers diharapkan netral, namun ditujukan dalam hubungannya dcngan pemerintah atau kelas penguasa dengan pengaturan yang disengaja atau tidak disengaja pers digunakan sebagai alat kekuasan negara untuk menekan.
Konsep Otoriter Pada Pers Indonesia Orde Baru
Seperti halnya Indonesia pada masa orde baru, ketika pers berpraktek konsep otoriter, meskipun secara teori konsep yang dipakai adalah konsep pers Pancasila dengan inti ajaran memiliki kesamaan dengan konsep pers tanggung jawab sosial. Pada masa itu pers Indonesia diperbolehkan untuk mencari berita, menyebarkannya, namun dengan kebijakan untuk negara.
Pemerintah membiarkan pers selama pers tidak mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah atau hal-hal yang tidak menguntungkan pemerintah. Sayangnya pers memakai kesempatan ini untuk mementingkan nilai-nilai komersil dengan mengabaikan nilai ideal pers, sehingga konsep otoritarian bukan lagi menjadi kepentingan pemerintahan. Meskipun demikian kenyataan bahwa pers memiliki cukup nyali untuk menyebarkan informasi kebenaran yang kemudian dianggap menyinggung pemerintah, sehingga sekitar tahun 90-an dan awal 90-an beberapa penerbitan pers dicabut SIUPP-nya.
  1. Libertarian Press (Pers Liberal)
Teori liberal berkembang di Inggris dan Amerika Serikat setelah tahun 1688. Teori pers liberal merupakan penerapan filsafat umum rasionalisme dan hak-hak ilmiah dalam bidang pers. Tugas pers yang terpenting disini memberikan informasi, menghibur, menjual, membantu menemukan yang terbaik, dan melaksanakan kontrol sosial serta pemerintahan. Pemanfaatan pers secara terbuka, maksudnya siapapun berhak untuk menggunakannya.
Pemberitaan yang dilarang berupa pemberitaan yang bersifat fitnah, cabul, tidak senonoh, dan penghianatan saat perang. Perusahaan pers biasanya dimiliki oleh kalangan privat (swasta). Mekanisme aktivitas pers difokuskan pada tindakan memeriksa/mengontrol pemerintah dan mempertemukan kepentingan-kepentingan masyarakat.
Libertarian theory akan berkembang menjadi responsibility theory. Dalam teori
liberal, pers bukan alat pemerintah melainkan sebagai alat untuk menyajikan fakta, alasan, dan pendapat rakyat untuk mengawasi pemerintah (social control terhadap pemerintah) sebagai berikut:
1. Memberi penerangan kepada masyarakat
2. Melayani kebutuhan pendidikan politik masyarakat
3. Melayani kebutuhan bisnis
4. Mencari keuntungan .
5. Melindungi hak warga masyarakat
6. Memberi hiburan kepada masyarakat.
  1. Soviet Communist Press (Pers Komunis Soviet)
Sistem pers Komunis Soviet menganut beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Media Massa harus melayani kepentingan dan, dan berada dalam kontrol kelas pekerja.
2. Kalangan swasta tidak dibenarkan memiliki media.
3. Media harus selalu melakukan tugas fungsi positif bagi masyarakat dengan cara melakukan upaya sosialisasi norma-norma yang diinginkan, pendidikan, penerangan, motivasi dan mobilisasi.
4. Dalam menjalankan seluruh tugasnya kepada masyarakat, media harus tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan khalayaknya.
5. Masyarakat berhak melakukan sensor dan tindakan hukum lainnya dalam upaya mencegah atau memberikan hukuman setelah terjadinya peristiwa publikasi yang bersifat anti-sosial.
6. Media harus memberikan pemikiran dan pandangan yang lengkap dan objektif mengenai masyarakat dan duma yang sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
7. Wartawan adalah kalangan profesional yang bertanggung jawab yang memiliki tujuan dan cita-cita yang selaras dengan kepentingan utama masyarakat.
8. Media harus mendukung gerakan-gerakan progresif di dalam dan di luar negeri
  1. Social Responsibility Press (Pers Tanggung Jawab Sosial)
Pers selalu mengambil bentuk dari struktur sosial dan politik dimana pers itu beroperasi. Dasar pemikiran utama dari teori ini ialah bahwa, kebebasan dan kewajiban berlangsung secara beriringan dan pers yang menikmati kedudukan dalam pemerintahan yang demokratis berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.
Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsi-fungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini.
Dalam konsep tanggung jawab sosial media dituntut sebagai berikut:
- Menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat, dimana kewajiban itu dipenuhi dengan menetapkan standar yang tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas dan keseimbangan.
- Media juag harusnya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada.
D. Sistem Pers Pancasila
Sesungguhnya istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press Theory", adalah sesungguhnyua pers tidak dapat diangkat dan tidak dapat ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Oleh karena itu struktur sosial politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sosial politik dilandasi masyarakat, pers pun berlandaskan atas sosial politik yang berkembang di masyarakat dan mencerminkan falsafah masyarakat".
Negara sebagai sebuah kesatuan wilayah, sebuah kesatuan politik yang memiliki otonomi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara warga negaranya dapat dikatakan sebagai sebuah sistem makro yang mencakup beragam sistem-sistem lain didalamnya. Sudah menjadi kewajiban mutlak bagi sebuah negara untuk mampu melindungi, mengatur, dan menjaga kelangsungan sistem-sistem lainnya yang berada dibawah ruang lingkupnya.
Pers sebagai sebuah media untuk menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu sudah pasti tentunya harus mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam mewujudkannya setiap negara pastilah memiliki latar belakang dan cita-cita yang berbeda, ini pulalah yang setidaknya berdampak pada diferensiasi pedoman dan aktualisasi peran negara dalam menjamin terus berjalannya sistem pers yang dipergunakan.
Untuk hal yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia “sekali lagi” mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers yang dianutnya. Seolah terlihat begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan.
Dalam pembahasannya itu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal "Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm. Menurutnya keempat teori pers itu menurutnya boleh kita tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory, sebab falsafah Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam empat teorinya Siber, Peterson dan Schramm itu.
Intisari keputusan sidang pleno XXV Dewan Pers mengeani pers pancasila itu, adalah sbb;
  • Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
  • Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
  • Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan fungsi pers pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.
Hingga kini perdebatan mengenai definisi konsep dari sistem pers Pancasila masih saja terjadi, dan belum mencapai satu kesespakatan pasti. Namun menurut Bappenas sistem pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis1.
E. Komunikasi Politik dalam Pers Indonesia
Pers Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang erat berhubungan dengan pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan dengan itu perjuangan untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Meski posisi dan peranan pers mengalami pergeseran sesuai dengan perkembangan sejarah negara dan sistem politiknya, namun pers Indonesia memiliki karakter yang konstan, yakni komitmen sosial-politik yang kuat.
Media massa umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku dimana sistem itu hidup, sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik yang ada. Dengan kata lain, sistem pers merupakan subsistem dari sistem politik yang ada. Maka dalam setiap liputan pemberitaan dengan sendirinya akan memperhatikan keterikatan tersebut.
Indonesia saat ini resminya menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggungjawab sosial". Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah.
Ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pers yang kritis dan mencoba menjalankan kontrol sosial. Ada rambu-rambu yang tidak tertulis, yang tidak bisa dilanggar. Misalnya: sulit dibayangkan pers Indonesia secara lugas dan terbuka bisa memuat isu tuduhan korupsi/kolusi/monopoli terhadap Presiden atau keluarganya. Padahal di negara demokratis, pemberitaan kritis adalah biasa saja dan jabatan Presiden bukan jabatan suci yang tak bisa disentuh.
Pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang berkali-kali dilakukan rezim Orde Baru, hakekatnya adalah sama dengan pemaksaan, karena itu dilakukan atas alasan isi pemberitaan. Padahal UU Pokok Pers tegas mengatakan tidak ada pemaksaan. SIUPP seharusnya hanya berkaitan dengan faktor ekonomis/usaha, bukan isi berita.
Kemudian disebutkan, pers adalah salah satu media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasional perlu mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Inilah yang disebut "pers pembangunan," model yang juga banyak diterapkan di negara sedang berkembang lainnya.
Kalau mengacu buku Sistem Pers Indonesia (Atmadi:1985), disebutkan, akar dari sistem kebebasan pers Indonesia adalah landasan idiil, ialah Pancasila, dengan landasan konstitusional, UUD 1945.

No Response to "Sistem komunikasi Indonesia"

Leave A Reply